Efek COVID-19: Kinerja Industri Baja ASEAN
Pekan lalu, South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) merilis laporan mengenai kinerja industri besi dan baja di ASEAN pada tahun 2019 hingga awal tahun 2020, berkenaan dengan dampak yang ditimbulkan oleh COVID-19. Kawasan Asia Tenggara dengan emerging economynya memiliki tingkat konsumsi baja yang terus naik secara signifikan dan mencapai hingga 80 miliar ton di tahun 2018. Sedangkan di tahun 2019, konsumsi baja naik hanya sebesar 1.2% hingga 81 miliar ton, seiring dengan melambatnya sektor konstruksi di negara-negara ASEAN-6.
Permintaan akan long product dan flat product pun terus meningkat secara signifikan. Flat product mengalami peningkatan permintaan rata-rata 8.1% dari tahun 1998 hingga 2019. Sedangkan flat product secara konsisten memiliki rata-rata 5.7% pada periode yang sama. Kenaikan permintaan pada long product dipengaruhi oleh ekspansi sektor konstruksi. Oleh karena itu, di tahun 2019 pangsa pasar long product berada di angka 79%, sedangkan flat product berada di angka 29%.
Industri Baja ASEAN 2019: Produksi, Impor, dan Ekspor Meningkat
Secara umum, industri baja ASEAN memiliki angka produksi, impor, dan ekspor yang relatif meningkat di tahun 2019. Produksi baja di tahun 2019 meningkat secara signifikan hingga 5.7% y-o-y atau setara dengan 45.3 juta ton. Nilai impor juga turut naik meski tidak terlalu banyak, hanya sekitar 1.3% y-o-y atau sebesar 51.2 juta ton. Sedangkan ekspor baja di negara ASEAN-6 naik secara signifikasi pada angka 16% y-o-y mencapai 15.5 juta ton. Naiknya ekspor ini dipengaruhi oleh naiknya 1.5 juta ton ekspor long product terutama dari Malaysia dan kenaikan ekspor flat product dari Indonesia.
Produksi Baja
Produksi baja di ASEAN didominasi oleh negara Vietnam, Indonesia, dan Malaysia. Tak heran, Vietnam memang menempati urutan ke-14 sebagai negara penghasil baja. Di tahun 2019, Vietnam menghasilkan 15.4 miliar ton. Indonesia menempati urutan kedua di angka 10.9 miliar ton. Malaysia menghasilkan total 5.6 miliar ton dari peningkatan produksi wirerod. Sedangkan Thailand mengalami penurunan sebanyak 14.4% hingga menjadi 7.8 miliar ton karena penurunan permintaan baja.
Impor Baja
Peningkatan impor baja tahun 2019 naik sebesar 1.3% y-o-y sebesar 51.2 miliar ton, dengan kontribusi long product sebanyak 12.5 miliar ton (5.4% y-o-y) dan flat product sebanyak 38.7 miliar ton (3.7% y-o-y). Negara-negara pengimpor baja untuk kawasan ini didominasi oleh negara Cina, Jepang, dan Korea. Sedangkan produk yang paling banyak diimpor adalah hot-rolled coil, coated sheet, dan cold rolled-coil.
Ekspor Baja
Nilai ekspor baja negara-negara ASEAN-6 belum ada yang menyentuh 1 miliar ton, kecuali Vietnam. Tahun 2018, Vietnam mampu meningkatkan ekspor bajanya hingga 6.59 miliar ton dan 6.63 miliar ton di tahun 2019. Indonesia dan Malaysia juga mengalami kenaikan ekspor. Ekspor plat hitam naik 30.3% y-o-y sebesar 778.198 ton dan ekspor gulungan hot-rolled melonjak hingga 50%. Ekspor wirerod Malaysia naik menjadi dari 100.997 menjadi 1.3 miliar ton di 2018. Ekspor besi batangan Malaysia meningkat dari 100.000 ton di 2018 hingga 324.197 ton di 2019. Ekspor besi kanal juga meningkat dari 60.000 ton di 2018 ke 194.018 ton di 2019.
Baca juga: Dampak Covid-19 pada Industri Baja Global
Sektor-sektor yang Terdampak COVID-19
Seperti yang kita ketahui, industri baja memang cukup terdampak pandemi COVID-19 akibat dari lockdown maupun penghentian dan perlambatan kegiatan usaha. Indonesia, Malaysia, dan Vietnam masih mampu mempertahankan pertumbuhan PDB di kuartal pertama tahun 2020. Sedangkan Singapura, Thailand, dan Singapura mengalami penurunan PDB hingga -2.2%.
Sektor Konstruksi
Permintaan baja di negara-negara ASEAN-6 didorong oleh sektor konstruksi dengan pangsa pasar mencapai 73%. Hal ini juga dipengaruhi oleh keinginan pemerintah-pemerintah negara tersebut untuk mengembangkan infrastruktur dan melanjutkan proyek-proyek di sektor swasta.
Sektor konstruksi Vietnam meningkat hingga 9.1% di 2019. Di kuartal pertama 2020, sektor ini masih berada di angka 5.2%. Bisa jadi hal ini disebabkan karena kegesitan pemerintah Vietnam untuk melakukan langkah-langkah pencegahan COVID-19 dengan melakukan lockdown secara masif. Sehingga, pandemi ini berdampak rendah pada aktivitas bisnis dibandingkan dengan negara lain.
Di sisi lain, Filipina juga mampu membuat pertumbuhan positif pada sektor konstruksi sebesar 9.4% melalui proyek pemerintah bertajuk Build Build Build di tahun 2019. Meski begitu, di kuartal pertama 2020, Filipina tertampar keras oleh pandemi COVID-19 yang mengakibatkan penurunan sektor konstruksi hingga 1.8%. Di Thailand, pemerintah memutuskan untuk membatasi aktivitas konstruksi, membuat pertumbuhan sektor ini terjatuh dari 2.2% di tahun 2019 menjadi -9.9% di kuartal pertama 2020. Sama halnya dengan Indonesia, sektor konstruksi mengalami perlambatan di kuartal pertama 2020 menjadi -6.9% dari 5.8% di tahun 2019. Lebih buruk lagi, sektor konstruksi Malaysia telah mengalami perlambatan di tahun 2019 dan makin memburuk selama pandemi COVID-19 hingga mencapai angka -6.3% pada periode yang sama.
Sektor Lainnya
Tidak hanya konstruksi, sektor otomotif dan manufaktur juga mengalami penurunan yang cukup signifikan di kuartal pertama tahun 2020. Penjualan kendaraan di ASEAN-6 jatuh sebesar 19% pada periode tersebut. Sedangkan sektor manufaktur ASEAN turun 3 bulan berturut-turut dari bulan Maret hingga Mei, terutama di bulan April ketika lockdown dan pembatasan diberlakukan secara masif. Negara yang paling terdampak akan hal ini adalah Singapura dan Indonesia.
Baca juga: Dampak COVID-19 pada Industri Baja Global
Seberapa Cepat Pemulihan Ekonomi Berlangsung?
SEAISI menyatakan bahwa keadaan ini sulit untuk diprediksi kapan berakhirnya. Beberapa negara seperti Vietnam dan Thailand mampu menangani pandemi ini dengan baik, namun ekonomi dan konsumsi baja di negara-negara tersebut masih tergantung pada ekonomi global.
Melihat sejarah krisis-krisis yang melanda ASEAN, negara-negara ASEAN sebenarnya cukup baik dalam menghadapi krisis keuangan. Contohnya seperti krisis keuangan Asia pada tahun 1998, krisis SARS pada tahun 2003, dan krisis keuangan global tahun 2009. Dalam krisis-kirisis tersebut, pemerintah negara-negara ASEAN mampu memulihkan ekonomi dengan baik. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menggenjot sektor konstruksi untuk mendorong perekonomian.
Namun, tetap terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat kegiatan konstruksi, diantaranya adalah kurangnya permintaan, kendala keuangan, kekurangan material, persaingan yang semakin ketat, kurangnya tenaga kerja, biaya material, dan lain-lain.
Meski begitu, terdapat ekspektasi positif terutama di Indonesia dan Filipina untuk menggalakkan pembangunan infrastruktur dalam waktu 12 bulan. Salah satunya karena struktur kontribusi di kedua negara ini yang perekonomiannya tidak banyak mengandalkan ekspor. Ketergantungan negara terhadap pasar domestik yang tinggi menjadi salah satu faktor yang mempercepat pemulihan ekonomi, asalkan pemerintah mampu mengendalikan penularan dengan baik di dalam negeri.
Kesimpulannya, SEAISI memperkirakan permintaan baja di negara ASEAN-6 secara keseluruhan akan mengalami penurunan sebanyak -2.1% di tahun 2020. Namun, SEAISI yakin bahwa tindakan yang cepat diperlukan untuk meningkatkan perekonomian di tahun 2021 sehingga permintaan baja dapat kembali naik menjadi 5.1%. Meski begitu, kecepatan pemulihan ekonomi dan stabilnya industri baja ASEAN sangat bergantung pada penanggulangan COVID-19 di kawasan tersebut.