Pengaruh Coronavirus pada Industri Baja
Penyebaran coronavirus benar-benar memengaruhi banyak industri, salah satunya adalah industri baja. Permintaan baja di berbagai negara cenderung rendah dan meningkatnya ancaman impor murah dari Cina, Jepang, dan Korea Selatan membuat kepanikan dalam industri dalam negeri di beberapa negara. Kondisi ini salah satunya telah memicu dan memaksa produsen dalam negeri untuk melakukan pertimbangan pemangkasan produksi dalam jangka pendek. Simak ulasan kami berikut ini untuk mengetahui pengaruh coronavirus pada industri baja di berbagai negara.
Pengurangan Produksi Baja di India
Di India contohnya, Kotak Securities baru saja merilis laporan mengenai proyeksi pemotongan harga Rs. 1000-1500 ($USD 13-20) per ton di pasar domestik untuk kuartal pertama FY21 (Fiscal Year 2021). Sebelumnya, produsen baja di India telah menaikkan harga sebesar 15% untuk hot-rolled coil (HRC) sejak bulan November 2019 menjadi Rs. 37000 ($USD 492) per ton. Namun sekarang, produsen-produsen ini akan terpaksa mengurangi pengeluaran hingga permintaan baja pulih.
VR Sharma, Direktur Pelaksana Jindal Steel & Power (JSPL), mengatakan bahwa konsumsi baja tumbuh hanya sekitar 3,8% hingga bulan Februari ini dan tidak ada yang tau bagaimana kedepannya. Menurutnya, jika coronavirus menyebar lebih jauh lagi ke seluruh negeri hingga berdampak pada manufaktur, industri baja juga pasti akan terpengaruh.
“Akan ada tekanan besar pada harga; kita mungkin harus melakukan pengurangan produksi,” tambah VR Sharma, dikutip dari Financial Express.
Cina: Pasokan Baja Melimpah, Permintaan Turun Menukik
Opini yang sama mengenai pengaruh coronavirus pada industri baja internasional datang dari Paul Bartholomew, Redaktur Pelaksana Senior di S&P Global Platts. Paul berpendapat bahwa peningkatan persediaan baja Cina tentu akan membebani harga global. Harga baja Cina telah dikoreksi sebesar 6-10% dalam dua bulan terakhir karena permintaan pasar yang rendah. Persediaan baja Cina juga mencatat angka tertinggi sebesar 25 juta ton, naik 34% year-on-year. Jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan banjir pasokan baja yang sebelumnya pernah terjadi. Sedangkan harga baja Jepang terkoreksi sebesar 6% menjadi $USD 457 per ton. Meningkatnya jumlah kasus coronavirus diberbagai negara dan masalah markoekonomi ini dapat menciptakan turunnya konsumsi baja domestik, menurut laporan ICRA.
Pasokan Bahan Baku Langka di Vietnam
Keadaan yang sama juga terjadi di Vietnam. Permintaan baja di Vietnam menurun tajam karena proyek-proyek konstruksi dihentikan. Sebagai contoh, Thái Nguyên Iron and Steel Company (TISCO), mengatakan penjualan telah anjlok menjadi 14.000 ton atau lebih dari 23% dari target penjualan Februari. Bagi TISCO, bahkan dalam kemungkinan terbaik, pihaknya hanya akan mencapai 75% dari target triwulannya.
Selain itu, produsen-produsen di Vietnam justru merasa kuwalahan karena kurangnya bahan baku produksi. Bagaimana tidak, pemasok utama mereka yang terdiri dari Cina, Jepang, dan Korea Selatan sedang berjuang untuk mengatasi coronavirus dengan produksi yang terhenti. VNSTEEL contohnya, merasa sangat dirugikan karena sangat bergantung terhadap bahan baku dari Cina. Ketika stok perusahaan jatuh, produksi kemungkinan akan berhenti pada bulan Maret. Sementara itu, pemerintah Vietnam melalui Kementerian Perindustrian telah bekerjasama dengan produsen-produsen baja untuk mengadakan promosi perdagangan agar produk-produk Vietnam dapat menemukan pasar baru.
Indonesia Berusaha Mencari Pasar Ekspor Baru
Di Indonesia, sebuah pabrik yang baru-baru ini memulai produksi blast furnacenya berusaha mencari pasar baru dengan menggalakkan ekspor. Produsen ini menawarkan billet untuk pengiriman di bulan April seharga $USD 415 per ton cfr Manila. Sementara itu, pengaruh coronavirus pada industri baja membuat minat beli di ASEAN dideskripsikan sebagai suam-suam kuku, kacau, bahkan tidak memiliki arah.
Kemrosotan Harga Rebar di Thailand
Di Thailand, harga besi beton merosot menjadi sekitar THB 14.500 ($USD 453) per ton. Sedangkan beberapa pihak ingin mengimpor billet dengan harga $USD 395 per ton cfr, jauh di bawah harga yang ditawarkan saat ini. Padahal harga billet lokal yang berlaku di negara ini sekitar THB 12.400 per ton atau paritas impor $USD 380 per ton.
Nah, dengan kondisi seperti itu tentu pengaruh coronavirus pada industri baja terbilang cukup besar. Lalu bagaimana dengan industri baja Indonesia saat ini?