Hmmm, Impor Baja di Indonesia Masih Tinggi
Data yang dilansir oleh The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) menyatakan bahwa impor baja di Indonesia di tahun 2018 mencapai angka 7,6 juta ton. Besarnya angka ini juga menjadi bukti bahwa angka impor baja di Indonesia menempati urutan ketiga sebagai komoditas impor terbesar, dengan nilai 6,45% dari total keseluruhan impor sebesar 10,25 milyar dolar AS. Sangat banyak, bukan? Hingga awal tahun 2019 pun, volume impor baja di Indonesia pun terbilang masih cukup tinggi dan bahkan meningkat. Di kuartal pertama 2019, impor besi baja Indonesia meningkat sebanyak 14,75% year-on-year dengan nilai sebesar 2,76 milyar dolar AS. Produk-produk baja yang diimpor antara lain adalah hot rolled coil, cold rolled coil, wirerod, bahkan coated sheet atau produk baja lapis.
Upaya Pemerintah Mengurangi Impor Baja di Indonesia
Meski begitu, bukan berarti pemerintah membuka lebar gerbang impor dan tidak melindungi industri baja dalam negeri. Pemerintah telah berupaya untuk mengendalikan arus impor baja yang masuk ke Indonesia dengan memberlakukan beberapa kebijakan anti-dumping. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 110 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya yang baru disahkan di bulan Januari. Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2018 yang dirasa membuka celah tingginya impor baja.
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan No. 110 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya pada Januari 2019 lalu ini diharapkan akan ada pengawasan lebih ketat terhadap aktivitas impor baja. Pengawasan ini akan kemnali berada di bawah Ditjen Bea dan Cukai setelah sebelumnya dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L). Sebelumnya, pemberlakuan Permendag No. 22 Tahun 2018 dibuat untuk mengurangi waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan. Namun sayangnya, dalam praktiknya malah terdapat banyak celah yang mengakibatkan peraturan ini tidak berjalan dengan semestinya karena lemahnya pemeriksaan pada post border inspection.
Tindak Kecurangan terhadap Bea Masuk
Salah satu loophole yang terjadi pada pemberlakuan Permendag No. 22 Tahun 2018 adalah mengenai praktik circumvention. Circumvention sendiri merupakan praktik kecurangan dengan mengubah Harmonied System (HS) number dari baja karbon menjadi baja paduan (alloy steel). Mengapa? Karena di Indonesia, baja paduan merupakan jenis baja yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Sehingga bea masuk yang dikenakan untuk baja paduan adalah sebesar 0%. Walhasil, baja karbon ditambahkan unsur-unsur paduan lainnya seperti boron atau chromium, sehingga produk baja tersebut dapat dikategorikan sebagai baja paduan.
Tindak kecurangan ini mengakibatkan perubahan tren impor dengan menurunnya impor baja karbon yang kemudian digantikan dengan tingginya angka impor unruk produk baja paduan. Pada kuartal pertama 2019, peningkatan impor yang sangat fluktuatif terjadi pada produk baja paduan cold rolled coil. Indonesia mengimpor cold rolled coil sejumlah 53 ribu ton yang terhitung sebagai kenaikan sebesar 302% year-on-year. Selain itu, tercatat pula peningkatan sebanyak 83% year-on-year atau setara dengan 147 ribu ton untuk produk baja paduan hot rolled coil yang diimpor masuk ke Indonesia. Wah, pantas saja industri baja dalam negeri jadi sesak napas!
Kondisi juga menjadi semakin buruk saat Cina mengalami kebanjiran pasokan baja dalam negeri. Pemerintah Cina memutuskan untuk memberikan tax rebate untuk produk baja paduan sebesar 13-15%. Dengan kebijakan tax rebate ini, ekspo baja Cina semakin meningkat dan harga komoditasnya pun semakin rendah. Ketidakmampuan pasar lokal untuk berkompetisi dengan murahnya harga yang dibanderol oleh produk baja Cina inilah yang membuat industri baja nasional terhimpit. Konsumen yang biasanya menggunakan baja karbon, kini beralih menggunakan baja paduan dengan harga yang lebih murah. Tentu saja pangsa pasar baja karbon yang harusnya dapat diisi oleh produk dalam negeri kini harus kehilangan banyak konsumen. Produsen lokal merugi, negara pun juga merugi karena importir tidak membayar bea masuk.
Krakatau Steel Menahun Mengalami Kerugian
Dampak konkrit sesaknya pasar baja lokal terbukti dari kerugian menahun yang dialami oleh Krakatau Steel. Jusuf Kalla menyebutkan bahwa Krakatu Steel kalah bersaing dengan produk baja impor dari Cina.
“Kenapa baja murah karena, bayangkan Indonesia bikin baja harganya 600 dolar per ton. Tapi China bikin 400 dollar, kalau bikin 500 dolar, dia untung 100 dolar. Kita rugi 100. Jadi makin banyak, karena Krakatau steel teknologi lama,” kata JK saat menjadi pembicara seminar kewirausahaan yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2019) dikutip dari detikcom.
Krakatau Steel dinyatakan mengalami kerugian selama 7 tahun berturut-turut mulai dari tahun 2012. Berbagai upaya mulai dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini seperti restrukturisasi bisnis, restrukturisasi organisasi, hingga restrukturisasi hutang. Perusahaan ini tercatat memiliki hutang sebesar 2,2 milyar dolar AS atau setara dengan 30,8 juta triliun rupiah (dengan anggapan kurs Rp 14 ribu per dolar AS) di tahun 2018. Sedangkan hutang secara konsolidasi bahkan mencapai angka 2,49 miliar dolar AS atau setara dengan 34,86 triliun rupiah pada periode yang sama. Meski begitu, Krakatau Steel optimis menjalankan program-program yang ditargetkan mampu memangkas hutang mereka hingga 1 milyar dolar AS.
Dilematis Pemerintah dalam Industri Baja Nasional
Jusuf Kalla sendiri berpendapat bahwa pemerintah sesungguhnya mengalami dilema mengenai persoalan ini. Meski industri besi baja sedang tampak alot, namun permintaan baja di kawasan ASEAN sesungguhnya sangat positif, termasuk di Indonesia. Pemerintah sedang mengalami kebingungan antara mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan material murah atau melindungi industri lokal dari himpitan pasar impor. Sepertinya, persoalan pengendalian impor besi dan baja ini memang cukup pelik.
Silmy Karim, selaku Direktur Utama PT. Krakatau Steel menyatakan bahwa industri baja bisa dikatakan sebagai induk industri sehingga perannya sangat vital. Induk industri ini akan memberi efek ganda bagi sektor industri hulu dan industri hilirnya. Jika induk industri ini sampai mati, maka menghidupkannya lagi sudah bukan perkara hitungan hari atau bulan, namun tahunan. Jika sudah begitu, multiplier effect akan terjadi dengan industri-industri lainnya yang berhubungan. Dengan kata lain, industri baja bisa dikatakan sebagai tulang punggung perekonomian negara.