2020: Industri Baja Indonesia Kian Optimis
Lesunya industri baja Indonesia di tahun 2019 membuat banyak perusahaan yang terikat dengan industri ini mengalami perekonomian yang lambat. Terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia untuk periode ini membangkitkan kembali harapan pelaku industri baja untuk 2020 yang lebih menjanjikan. Bisa dibilang, di tahun ini industri ini lebih optimis dengan kenaikan permintaan baja.
Bagi Indonesia, 2019 memang merupakan tahun yang cukup sulit. Banyaknya headwinds yang menyeret mundur perekonomian Indonesia terjadi secara beruntun dari kuartal kedua. Hal ini dimulai dari ketidakpastian situasi politik setelah pemilu yang cukup lama dengan tuduhan kecurangan pemutungan dan perhitungan suara. Setelah itu pasar turut melambat selama bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri, hingga pada akhirnya musim hujan datang dengan banyaknya permasalahan seperti banjir. Kondisi ini tentu saja menciptakan malaise ekonomi di industri baja Indonesia.
Situasi Industri Baja Indonesia 2020
Mulai stabilnya kondisi politik Indonesia di tahun 2020 ini memberikan angin segar bagi industri baja. Tidak hanya itu, Indonesia juga meningkatkan anggaran negara menjadi lebih dari 2.500 triliun rupiah di tahun 2020. Angka ini naik sebesar 8,5% year-on-year, dengan 419,2 triliun rupiah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur; meningkat sebanyak 4,9% dibandingkan dengan tahun 2019.
Pemerintahan Jokowi pun berjanji untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur dan menggalakkan investasi pada periode ini. Hal ini didasarkan atas usaha menciptakan konektivitas yang lebih baik di Indonesia untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan distribusi yang lebih mudah. Terbukti, usaha ini telah dimulai dari tahun 2014 dan kini banyak infrastuktur yang telah terbangun di pulau-pulau di luar Jawa. Berdasarkan SEAISI, selama periode tersebut konsumsi baja Indonesia mencapai 15,1 juta ton pada 2018. Angka ini naik sebanyak 17,1% dari 12,9 juta ton di tahun 2014.
Meski begitu, penggunaan baja per kapita di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya berdasarkan data yang dilansir World Steel Association. Di tahun 2018, penggunaan baja per kapita Indonesia hanya sebesar 56 kg, sedangkan Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam berada di angka 101-504 kg.
Lalu, faktor-faktor apa saja yang mendukung geliat industri baja Indonesia di tahun ini?
Rencana Relokasi Ibukota
Rencana Presiden Jokowi untuk memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur dipandang sebagai kesempatan besar untuk potensi pertumbuhan permintaan baja dalam jangka panjang. Dengan rencana relokasi ini, tentu kebutuhan infrastuktur dan transportasi baik darat, laut, dan udara akan sangat diperlukan di pulau Kalimantan. Pemerintah berencana memulai pembangunan ibukota baru di tahun 2021 dan ditargetkan akan memulai relokasi kantor-kantor pemerintahan di tahun 2024.
IISIA mentaksir pertumbuhan permintaan baja di Indonesia bisa mencapai 22,7 juta ton di tahun 2024, dengan kata lain meningkat lebih dari 50% dibanding 2018. Sejauh ini, konsumsi besi beton di Indonesia mencapai 3,4 juta ton di tahun 2018 atau naik sebesar 64,3% dari tahun 2014. Sedangkan permintaan HRC dan CRC mencapai 8,38 juta ton di tahun 2018, naik sebanyak 5% dari tahun 2014. Nah, meski begitu masih ada banyak pihak yang meragukan apakah proyek ini akan tetap dilanjutkan jika nanti Jokowi telah menyelesaikan periode kepemimpinanya.
Investasi Asing
Pemerintah Indonesia juga sedang menggalakkan investasi perusahaan asing ke Indonesia, salah satunya pada industri baja. Adanya kerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing diperkirakan akan turut meningkatkan permintaan baja di Indonesia.
Saat ini, Korea Selatan baru saja menyepakati pakta perdagangan pada akhir November lalu. Kesepakatan bernama South Korea-Indonesia Comprehensive Economic Partnership Agreement ini memungkinkan Indonesia menghapis tarif pada berbagai komoditas, termasuk baja, mobil, dan suku cadang kendaraan. Tak hanya itu, Hyundai Group juga mengumumkan investasinya terhadap Indonesia sebesar USD$1,55 miliar pada pabrik manufaktur kendaraan dengan kapasitas sebesar 250.000 unit per tahun di tahun 2030.
Kapasitas Pembuatan Baja
Investasi lainnya juga ada pada industri pembuatan baja. POSCO berencana untuk menginvestasikan tambahan USD$4 miliar ke PT Krakatau Posco—perusahaan venture antara POSCO dengan Krakatau Steel—untuk meningkatkan kapasitas pembuatan baja hingga 10 juta ton/tahun pada tahun 2025. PT Krakatau Posco juga tengah berniat untuk mulai memasarkan 750.00 ton/tahun produk HRC mereka di tahun depan, sedangkan negosiasi untuk produk CRC masih terus berlanjut.
Selain itu, kapasitas sebanyak 3,5 juta ton/tahun billet, slab, rebar, dan wirerod juga akan ditambah tahun depan oleh PT Dexin Steel Indonesia. Perusahaan ini didukung oleh negara Cina dan beroperasi di provinsi Sulawesi Tengah. Nah, tentu saja hal ini dapat meningkatkan volume ekspor baja Indonesia. Pada semester awal tahun 2019, ekspor baja Indonesia naik sebanyak 42% year-on-year menjadi 1,6 juta ton.
PT. Dexin Steel Indonesia akan lebih mengutamakan sebagai eksportir daripada menjual ke pasar domestik karena biaya distribusi yang cukup mahal. Pengiriman dari Sulawesi ke Jawa berkisar antara USD$25-30 per ton. Sedangkan biaya pengiriman dari sumber lain seperti Malaysia dan Rusia malah jauh lebih terjangkau, sebesar USD$15-20 per ton. Sinosteel Corp milik pemerintah Cina pun menjajaki investasi sebesar USD$2,7 miliar untuk membangun pabrik di Tarakan, Kalimantan Utara. Proyek ini bisa dibilang sangat strategis mengingat Indonesia akan merelokasi lokasi ibukota ke Kalimantan Timur. Dengan begitu, baja-baja yang diproduksi dapat dipasok untuk pengembangan infrastruktur baru di Kalimantan. Selain itu, lokasi Kalimantan juga sangat strategis dan kompetitif sebagai eksportir karena dekat dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Ikuti perkembangan industri besi dan baja di Indonesia maupun global dengan mengakses blog SMS Perkasa. Ada kebutuhan besi beton untuk konstruksi? Hubungi SMS Perkasa, Toko Besi Surabaya.