Apa Dampak Krisis Global terhadap Fluktuasi Harga Baja?

Dunia modern sangat bergantung pada baja. Dari gedung pencakar langit yang menjulang, infrastruktur transportasi yang vital, hingga peralatan rumah tangga sehari-hari, baja merupakan tulang punggung kemajuan industri dan konstruksi global. Namun, sebagai komoditas yang diperdagangkan secara internasional, harga baja menunjukkan kerentanan yang signifikan terhadap berbagai gejolak dan krisis yang terjadi di tingkat global. Memahami bagaimana peristiwa-peristiwa ini memengaruhi dinamika harga baja menjadi krusial bagi para pelaku industri, investor, dan konsumen dalam mengambil keputusan strategis yang tepat. Baja tidak hanya sekadar material; fluktuasi harganya seringkali berfungsi sebagai barometer penting yang mencerminkan kesehatan ekonomi global, sentimen pasar, serta tingkat stabilitas geopolitik. Artikel ini akan mengupas secara tuntas dan mendalam dampak beragam krisis global terhadap volatilitas harga baja, menganalisis tren pasar terkini yang kompleks, serta memberikan pandangan mengenai proyeksi harga baja menuju tahun 2025, dilengkapi dengan strategi untuk menghadapi ketidakpastian pasar.
Memahami Korelasi: Krisis Global dan Sensitivitas Harga Baja
Definisi Krisis Global dalam Konteks Baja
Krisis global dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, masing-masing dengan mekanisme dampak yang unik dan seringkali saling terkait terhadap pasar baja. Memahami jenis-jenis krisis ini adalah langkah awal untuk mengurai kompleksitas fluktuasi harga:
- Krisis Ekonomi (Resesi): Perlambatan ekonomi global atau resesi di negara-negara ekonomi utama secara langsung mengurangi permintaan baja. Sektor konstruksi dan manufaktur, terutama otomotif, yang merupakan konsumen baja terbesar, cenderung menunda atau membatalkan proyek dan mengurangi produksi selama periode ekonomi sulit. Penurunan aktivitas ekonomi ini menekan permintaan baja secara signifikan. Lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF) menggunakan berbagai kriteria makroekonomi, termasuk perdagangan dan lapangan kerja, untuk mengidentifikasi resesi global dan secara konsisten memperingatkan tentang risiko penurunan ekonomi yang dapat memicu kondisi seperti ini.
- Krisis Kesehatan (Pandemi): Seperti yang disaksikan selama pandemi COVID-19, krisis kesehatan berskala global dapat menyebabkan gangguan masif dan multifaset. Dampaknya meliputi penghentian produksi mendadak akibat lockdown, kekurangan tenaga kerja akut, disrupsi parah pada rantai pasok dan logistik global (kemacetan pelabuhan, kekurangan kontainer, lonjakan biaya pengiriman), hingga perubahan pola permintaan konsumen. Kombinasi faktor ini dapat menciptakan volatilitas harga yang ekstrem, bahkan ketika permintaan akhir belum sepenuhnya pulih.
- Krisis Geopolitik (Konflik, Perang, Sanksi): Ketegangan politik antarnegara, penerapan sanksi ekonomi, atau konflik bersenjata langsung dapat secara drastis mengganggu pasokan bahan baku utama seperti bijih besi dan batu bara metalurgi, menghentikan produksi baja di wilayah konflik, dan memicu volatilitas harga energi yang krusial untuk proses produksi baja yang padat energi. Perang juga dapat mengubah pola permintaan baja, misalnya meningkatkan kebutuhan untuk industri pertahanan, sambil secara bersamaan menekan sentimen investasi global. Perang dagang, seperti antara AS dan China yang melibatkan tarif seperti Section 232, juga termasuk dalam kategori ini karena secara langsung mengubah arus perdagangan dan biaya.
- Krisis Rantai Pasok: Meskipun sering dipicu oleh krisis lain (pandemi, konflik, bencana alam), gangguan pada rantai pasok memiliki dampak independen yang signifikan. Kemacetan di pelabuhan utama, kekurangan peti kemas, gangguan transportasi darat dan laut, serta lonjakan biaya pengiriman secara drastis meningkatkan biaya logistik untuk memindahkan bahan baku dan produk baja jadi. Hal ini menghambat ketersediaan baja di pasar tujuan dan menambah tekanan pada harga akhir. Kenaikan biaya pengiriman global, seperti yang terlihat selama puncak pandemi, menjadi faktor inflasi yang signifikan.
- Krisis Energi: Produksi baja adalah salah satu proses industri yang paling padat energi. Oleh karena itu, lonjakan harga sumber energi utama seperti gas alam, batu bara, atau listrik secara langsung dan signifikan meningkatkan biaya produksi baja. Kenaikan biaya produksi ini seringkali diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga jual baja yang lebih tinggi. Krisis energi seringkali terkait erat dengan peristiwa geopolitik, seperti konflik Rusia-Ukraina yang menyebabkan lonjakan harga gas di Eropa.
Penting untuk dicatat bahwa krisis-krisis ini jarang terjadi secara terisolasi. Seringkali, satu jenis krisis dapat memicu atau memperburuk krisis lainnya, menciptakan efek berganda yang kompleks. Misalnya, konflik geopolitik dapat memicu krisis energi dan gangguan rantai pasok secara bersamaan, seperti yang terjadi akibat perang di Ukraina. Demikian pula, pandemi COVID-19 sebagai krisis kesehatan memicu resesi ekonomi singkat dan gangguan rantai pasok yang berkepanjangan. Kerentanan yang sudah ada sebelumnya dalam sistem, seperti ketergantungan pada sumber energi tertentu atau rantai pasok global yang sangat panjang dan kompleks, cenderung memperkuat dampak dari krisis yang terjadi.
Faktor Sensitivitas Harga Baja
Harga baja menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap berbagai faktor eksternal karena perannya sebagai komoditas fundamental yang diperdagangkan secara global. Harganya ditentukan oleh interaksi kompleks antara penawaran (supply) dan permintaan (demand) di tingkat dunia, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
- Permintaan Elastis (Cyclical Demand): Permintaan baja sangat erat kaitannya dengan kesehatan ekonomi global dan siklus bisnis. Pertumbuhan ekonomi yang kuat mendorong aktivitas konstruksi dan manufaktur (termasuk otomotif), yang secara signifikan meningkatkan permintaan baja. Sebaliknya, selama resesi atau perlambatan ekonomi, permintaan baja dapat turun drastis karena proyek-proyek ditunda dan produksi barang tahan lama menurun. Sifat siklikal ini membuat permintaan baja sangat elastis terhadap perubahan kondisi ekonomi makro.
- Biaya Input Volatil: Biaya produksi baja sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku utamanya, yaitu bijih besi dan batu bara metalurgi (coking coal), serta harga energi (gas alam, listrik). Harga komoditas input ini dapat berfluktuasi secara signifikan karena berbagai faktor pasar, kondisi cuaca yang mempengaruhi penambangan, keputusan produksi oleh penambang besar, dan dinamika geopolitik. Volatilitas biaya input ini secara langsung mempengaruhi margin keuntungan produsen baja dan seringkali diteruskan ke dalam harga jual.
- Rantai Pasok Global yang Kompleks: Baja dan bahan bakunya seringkali harus menempuh perjalanan jauh melintasi benua, dari lokasi penambangan ke pabrik baja, dan kemudian ke konsumen akhir. Rantai pasok yang panjang dan melibatkan banyak tahapan ini membuatnya sangat rentan terhadap gangguan logistik, fluktuasi biaya pengiriman, kemacetan pelabuhan, dan risiko geopolitik di berbagai titik transit. Kompleksitas ini menambah lapisan ketidakpastian dan potensi biaya tambahan.
- Peran Kebijakan Pemerintah: Kebijakan pemerintah di negara-negara produsen dan konsumen utama memiliki dampak signifikan terhadap pasar baja. Kebijakan perdagangan seperti tarif impor (misalnya, Section 232 AS ), kuota impor, dan perjanjian perdagangan dapat mengubah arus perdagangan dan tingkat harga regional. Stimulus fiskal, terutama yang berfokus pada proyek infrastruktur besar, dapat secara signifikan meningkatkan permintaan baja domestik. Selain itu, regulasi lingkungan yang semakin ketat, seperti kebijakan dekarbonisasi dan penetapan harga karbon, dapat meningkatkan biaya produksi baja konvensional atau mendorong investasi dalam teknologi baja hijau. Kebijakan kontrol produksi, terutama di China sebagai produsen terbesar, juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi keseimbangan penawaran global.
- Peran Pasar Komoditas: Selain faktor fundamental penawaran dan permintaan, harga baja juga dapat dipengaruhi oleh aktivitas di pasar keuangan dan komoditas. Perilaku spekulatif oleh para pedagang dan keputusan manajemen inventaris oleh distributor (misalnya, menimbun stok saat harga diperkirakan naik atau melepas stok saat harga diperkirakan turun) dapat memperkuat tren harga jangka pendek dan menambah volatilitas pasar.
Kombinasi dari faktor-faktor ini menjelaskan mengapa harga baja dapat mengalami fluktuasi yang tajam dan seringkali sulit diprediksi. Produsen baja seringkali beroperasi dalam kondisi terjepit antara biaya input yang volatil dan permintaan pasar yang siklikal, membuat profitabilitas mereka sangat sensitif terhadap perubahan pasar. Hal ini menjelaskan mengapa mereka seringkali merespons penurunan permintaan dengan cepat mengurangi produksi (menghentikan sementara tanur tinggi) untuk melindungi margin dan menghindari penumpukan stok. Lebih jauh lagi, ketidakpastian mengenai arah kebijakan pemerintah di masa depan (perdagangan, lingkungan, stimulus) itu sendiri dapat bertindak sebagai penghambat investasi dan permintaan, menambah lapisan volatilitas bahkan sebelum kebijakan tersebut diterapkan sepenuhnya.
Analisis Dampak Spesifik Berbagai Krisis terhadap Harga Baja
Mari kita telaah lebih dalam bagaimana masing-masing jenis krisis secara konkret mempengaruhi dinamika pasar dan harga baja, dengan mengacu pada contoh-contoh historis dan data terkini.
Dampak Krisis Ekonomi (Resesi)
Selama periode resesi ekonomi global, aktivitas ekonomi melambat secara signifikan. Proyek-proyek konstruksi besar sering ditunda atau dibatalkan, penjualan kendaraan bermotor menurun tajam, dan produksi barang-barang manufaktur lainnya berkurang. Akibatnya, permintaan terhadap baja, sebagai input kunci dalam sektor-sektor ini, anjlok. Secara teori ekonomi dasar, penurunan permintaan seharusnya memberikan tekanan ke bawah pada harga.
Namun, respons pasar tidak selalu sesederhana itu. Produsen baja, menghadapi penurunan pesanan dan prospek pasar yang suram, kemungkinan besar akan merespons dengan mengurangi tingkat produksi mereka. Mereka melakukan ini untuk menghindari penumpukan persediaan yang tidak terjual, yang dapat membebani neraca keuangan dan menambah biaya penyimpanan. Jika pengurangan produksi oleh para pemain industri baja terjadi lebih cepat atau lebih dalam daripada penurunan permintaan aktual, secara teoritis mungkin saja terjadi kelangkaan pasokan relatif dalam jangka pendek, yang dapat menstabilkan harga sementara atau bahkan menyebabkannya naik sedikit.
Meskipun demikian, tren historis yang dominan selama resesi global adalah tekanan kuat pada harga baja. Sebagai contoh, krisis keuangan global 2008-2009 menyebabkan penurunan tajam dalam aktivitas konstruksi dan manufaktur global, yang mengakibatkan harga baja anjlok secara dramatis. IMF dan Bank Dunia secara konsisten mencatat korelasi kuat antara perlambatan ekonomi global dan penurunan harga komoditas industri, termasuk logam seperti baja. Kejatuhan harga selama resesi seringkali dipercepat oleh sentimen pasar yang negatif dan upaya distributor untuk mengurangi tingkat persediaan mereka (destocking), yang menambah tekanan jual di pasar. Dampak resesi terhadap baja cenderung bersifat asimetris; sementara kenaikan harga selama periode ekspansi mungkin bertahap, penurunan harga selama resesi bisa sangat cepat dan dalam, seringkali melampaui penurunan fundamental permintaan karena faktor sentimen dan persediaan.
Dampak Krisis Kesehatan (Studi Kasus: Pandemi COVID-19)
Pandemi COVID-19 memberikan contoh nyata betapa kompleks dan multifasetnya dampak krisis kesehatan global terhadap pasar baja, yang berlangsung dalam beberapa fase berbeda:
- Fase 1: Guncangan Awal (Kuartal 1 & 2 2020): Penerapan lockdown secara luas di seluruh dunia menyebabkan penghentian mendadak sebagian besar aktivitas ekonomi. Sektor konstruksi terhenti, pabrik otomotif tutup, dan manufaktur melambat drastis. Hal ini memicu penurunan tajam dan seketika dalam permintaan baja global. Banyak pabrik baja merespons dengan mengurangi atau menghentikan produksi untuk menyesuaikan diri dengan permintaan yang hilang dan ketidakpastian yang ekstrem. Harga baja, mengikuti penurunan permintaan dan sentimen pasar yang anjlok, mengalami kejatuhan signifikan. Pada fase ini, distributor juga cenderung mengurangi tingkat persediaan mereka secara drastis untuk memitigasi risiko penurunan harga lebih lanjut.
- Fase 2: Pemulihan yang Terganggu (Akhir 2020 – 2021): Ketika ekonomi mulai dibuka kembali secara bertahap di berbagai negara, terjadi ketidakseimbangan yang parah antara penawaran dan permintaan. Permintaan mulai bangkit kembali, terkadang didorong oleh paket stimulus pemerintah yang besar yang ditujukan untuk infrastruktur dan dukungan pendapatan, serta pergeseran belanja konsumen ke barang tahan lama. Namun, produksi baja belum pulih sepenuhnya ke tingkat pra-pandemi karena berbagai kendala, termasuk kesulitan memulai kembali fasilitas yang dihentikan dan protokol kesehatan di tempat kerja. Yang lebih signifikan, rantai pasok global mengalami kekacauan total. Terjadi kemacetan parah di pelabuhan-pelabuhan utama, kekurangan peti kemas yang akut, kekurangan tenaga kerja di sektor logistik dan produksi, serta lonjakan biaya pengiriman (freight costs) ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kombinasi dari permintaan yang pulih (meskipun tidak merata), produksi yang tertinggal, dan gangguan logistik yang parah ini menciptakan “badai sempurna” (perfect storm) yang mendorong harga baja melonjak ke rekor tertinggi pada tahun 2021. Lonjakan harga ini terjadi meskipun permintaan riil di beberapa sektor mungkin belum sepenuhnya kembali ke level sebelum pandemi, menyoroti peran krusial dari kendala sisi penawaran (supply-side constraints).
- Fase 3: Normalisasi atau ‘Normal Baru’ (2022 dan seterusnya): Pasar secara bertahap mulai mencari titik keseimbangan baru. Namun, lingkungan pasar tetap diwarnai oleh inflasi yang persisten (sebagian merupakan warisan dari gangguan sebelumnya), kenaikan suku bunga oleh bank sentral untuk mengendalikan inflasi, potensi gelombang pandemi baru atau varian virus, volatilitas harga energi (diperparah oleh konflik Rusia-Ukraina), dan perubahan struktural dalam rantai pasok global. Banyak perusahaan mulai mengevaluasi kembali strategi rantai pasok mereka, dengan kecenderungan ke arah regionalisasi atau diversifikasi untuk meningkatkan ketahanan (resilience) terhadap guncangan di masa depan. Meskipun beberapa tekanan ekstrem mungkin telah mereda, pasar tetap volatil, dan beberapa analisis menunjukkan bahwa pandemi mungkin telah menyebabkan peningkatan permanen pada tingkat harga dasar baja karena perubahan struktural dalam biaya dan risiko. Permintaan baja global mengalami revisi ke bawah pada tahun 2022 karena tantangan makroekonomi yang muncul.
Pengalaman COVID-19 menggarisbawahi bagaimana krisis kesehatan dapat dengan cepat berubah menjadi krisis ekonomi dan logistik, dengan dampak yang berlarut-larut pada harga komoditas seperti baja. Hal ini juga menunjukkan pergeseran penting dari dinamika yang didominasi oleh permintaan (seperti dalam resesi tipikal) menjadi dinamika di mana kendala pasokan memainkan peran yang sangat menentukan dalam pergerakan harga. Selain itu, pandemi kemungkinan memperkuat efek bullwhip dalam rantai pasok baja, di mana fluktuasi kecil dalam permintaan akhir menyebabkan ayunan pesanan dan tingkat persediaan yang jauh lebih besar di tingkat hulu (pabrik, distributor), berkontribusi pada volatilitas ekstrem yang diamati.
Dampak Krisis Geopolitik (Studi Kasus: Konflik Rusia-Ukraina)
Konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina, yang dimulai pada Februari 2022, memberikan dampak signifikan dan berlapis terhadap pasar baja global, menyoroti kerentanan pasar terhadap gangguan di wilayah produsen utama:
- Gangguan Pasokan Baja dan Bahan Baku: Rusia dan Ukraina secara historis merupakan eksportir penting di pasar baja global, termasuk produk jadi, produk setengah jadi (seperti pig iron dan slab), bijih besi, dan batu bara metalurgi. Konflik ini secara langsung mengganggu produksi di kedua negara. Di Ukraina, banyak fasilitas baja besar mengalami kerusakan parah atau terpaksa menghentikan operasi karena pertempuran, pendudukan, atau gangguan logistik dan pasokan energi, seperti pabrik Azovstal dan Illich di Mariupol. Produksi baja Ukraina anjlok lebih dari 70% pada tahun 2022. Meskipun ada pemulihan parsial, tantangan terus berlanjut, seperti potensi kekurangan batu bara akibat penutupan tambang Pokrovsk pada awal 2025. Ekspor dari pelabuhan Laut Hitam, rute utama bagi kedua negara, juga terganggu secara signifikan.
- Krisis Energi Eropa: Rusia adalah pemasok energi utama, terutama gas alam, ke Eropa. Gangguan aliran gas Rusia ke Eropa sebagai akibat dari konflik dan sanksi menyebabkan harga energi, khususnya gas alam dan listrik, melonjak ke tingkat rekor di Eropa. Mengingat produksi baja sangat padat energi, hal ini secara drastis meningkatkan biaya produksi bagi produsen baja Eropa, mengurangi daya saing mereka dan menambah tekanan inflasi.
- Pergeseran Arus Perdagangan dan Sanksi: Negara-negara Barat, terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat, memberlakukan sanksi luas terhadap Rusia, termasuk larangan impor berbagai produk baja Rusia dan pembatasan akses ke sistem keuangan. Uni Eropa juga melarang impor produk baja yang diproses di negara ketiga jika mengandung input baja dari Rusia. Sanksi ini, dikombinasikan dengan gangguan pasokan dari Ukraina, memaksa negara-negara pengimpor (terutama di Eropa) untuk mencari sumber pasokan alternatif dari negara lain. Hal ini mengubah peta perdagangan baja global, seringkali memaksa pembeli membayar harga premium untuk mengamankan pasokan dari sumber non-Rusia/Ukraina. Rusia, pada gilirannya, berusaha mengalihkan ekspornya ke pasar lain seperti Asia dan Afrika.
- Ketidakpastian Ekonomi Global: Konflik ini menambah lapisan ketidakpastian yang signifikan pada ekonomi global yang sudah rapuh pasca-pandemi. Kekhawatiran tentang eskalasi konflik, dampak inflasi energi dan pangan, serta gangguan perdagangan lebih lanjut menekan sentimen bisnis dan investasi secara global. Hal ini berpotensi mengurangi permintaan baja dalam jangka panjang karena perusahaan menunda keputusan investasi dan konsumen mengurangi pengeluaran.
Konflik Rusia-Ukraina secara gamblang menunjukkan risiko yang terkait dengan konsentrasi geografis pasokan komoditas kunci. Ketergantungan Eropa pada energi Rusia dan peran signifikan kedua negara dalam pasar baja global berarti bahwa konflik regional ini memiliki dampak sistemik yang luas. Selain itu, penerapan sanksi terhadap komoditas global seperti baja terbukti kompleks, seringkali menyebabkan pengalihan arus perdagangan daripada penghapusan total pasokan, yang membuat dampak bersih pada harga global menjadi lebih sulit untuk diukur dan dilacak.
Dampak Krisis Geopolitik (Studi Kasus Mendalam: Perang Dagang AS-China dan Tarif Section 232)
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China, yang secara signifikan meningkat sekitar tahun 2018 dengan pengenaan tarif oleh AS terhadap berbagai barang impor China, termasuk tarif baja dan aluminium berdasarkan Section 232, serta tindakan balasan oleh China, telah menjadi faktor penting yang mempengaruhi pasar baja global. Analisis mendalam terhadap dampak tarif Section 232 memberikan wawasan kunci:
- Latar Belakang dan Rasionalisasi: Pada Maret 2018, pemerintahan Trump memberlakukan tarif tambahan sebesar 25% untuk impor baja dan 10% untuk impor aluminium ke AS, menggunakan wewenang di bawah Section 232 dari Trade Expansion Act of 1962. Rasionalisasi resmi yang diberikan adalah alasan keamanan nasional (national security). Laporan Departemen Perdagangan AS pada saat itu menyatakan bahwa tingkat impor baja dan aluminium yang tinggi, didorong oleh kelebihan kapasitas global (terutama di China) dan praktik perdagangan yang dianggap tidak adil (seperti dumping dan subsidi), mengancam untuk melemahkan industri domestik AS, yang dianggap vital untuk kesiapan militer dan infrastruktur kritis. Tujuannya adalah untuk mendorong utilisasi kapasitas domestik kembali ke tingkat yang lebih sehat (target awal sekitar 80%).
- Mekanisme Dampak Langsung dan Implementasi: Tarif tersebut secara langsung meningkatkan biaya pendaratan baja dan aluminium impor di pasar AS, membuatnya kurang kompetitif dibandingkan produk domestik. Meskipun tarif awalnya diterapkan secara luas, beberapa negara kemudian dinegosiasikan pengecualian atau pengaturan alternatif, seperti kuota tarif (Tariff Rate Quotas – TRQs) untuk Uni Eropa, Inggris, Jepang, Brasil, dan Korea Selatan, serta pengecualian awal untuk Kanada dan Meksiko yang kemudian diatur melalui surat sampingan dalam perjanjian USMCA. Namun, implementasinya kompleks dan mengalami penyesuaian dari waktu ke waktu, termasuk penarikan dan pengenaan kembali tarif pada beberapa produk aluminium Kanada. Pada awal 2025, pemerintahan Trump yang baru mengumumkan langkah-langkah untuk memulihkan dan memperkuat tarif Section 232, termasuk menghilangkan beberapa fleksibilitas dan menutup celah yang dianggap melemahkan efektivitas program.
- Distorsi Harga dan Arus Perdagangan: Efek paling langsung dari tarif adalah kenaikan harga baja dan aluminium di pasar domestik AS. Produsen domestik AS mendapatkan perlindungan dari persaingan impor yang lebih murah. Namun, baja dan aluminium yang sebelumnya ditujukan ke pasar AS dialihkan ke pasar lain di seluruh dunia. Peningkatan pasokan di pasar-pasar alternatif ini berpotensi memberikan tekanan ke bawah pada harga baja di wilayah di luar AS (efek pengalihan perdagangan atau trade diversion).
- Dampak Ekonomi Domestik (Perdebatan Sengit): Penilaian dampak ekonomi dari tarif Section 232 di AS sangat diperdebatkan, dengan berbagai studi dan kelompok kepentingan mencapai kesimpulan yang berbeda:
- Pendukung tarif menunjuk pada bukti peningkatan investasi di industri baja dan aluminium domestik (lebih dari $10 miliar komitmen pabrik baru dilaporkan, $22 miliar sejak 2018 menurut AISI), peningkatan lapangan kerja dan upah di sektor logam, penurunan impor secara keseluruhan, dan beberapa studi yang mengklaim dampak inflasi minimal dan bahkan penguatan ekonomi serta reshoring.
- Kritikus tarif menyoroti biaya ekonomi yang tinggi. Estimasi menunjukkan biaya hampir $650.000 per pekerjaan yang “diselamatkan” di industri baja. Studi lain menghitung potensi hilangnya pekerjaan yang signifikan di industri manufaktur hilir yang menggunakan baja dan aluminium sebagai input (satu perkiraan menyebutkan 75.000 pekerjaan hilang). Kenaikan biaya input ini juga ditemukan mengurangi pertumbuhan ekspor perusahaan AS yang bergantung pada logam impor. Komisi Perdagangan Internasional AS (USITC) menemukan bahwa tarif tersebut secara signifikan mengurangi keuntungan bagi industri pengguna baja. Koalisi produsen hilir (CAMMU) berpendapat bahwa tarif tersebut merusak sektor manufaktur AS secara keseluruhan.
- Tindakan Balasan dan Sengketa WTO: China dan beberapa mitra dagang AS lainnya merespons tarif Section 232 dengan memberlakukan tarif balasan pada berbagai produk ekspor AS. Selain itu, banyak negara mengajukan keluhan terhadap AS di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dengan alasan bahwa penggunaan alasan keamanan nasional tidak dapat dibenarkan dan melanggar komitmen AS di bawah Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT). Panel-panel sengketa WTO kemudian memutuskan menentang tarif AS dalam kasus-kasus yang diajukan oleh China, Norwegia, Swiss, dan Turki, menyimpulkan bahwa tarif tersebut tidak diberlakukan “pada saat perang atau keadaan darurat lain dalam hubungan internasional” seperti yang disyaratkan oleh pengecualian keamanan GATT. Namun, AS dengan tegas menolak interpretasi dan kesimpulan panel-panel ini. Dalam kasus terpisah mengenai tarif balasan China, panel WTO memutuskan bahwa tindakan balasan China tidak sah karena tarif AS dianggap “diupayakan, diambil, atau dipertahankan berdasarkan” pengecualian keamanan, bukan sebagai tindakan pengamanan (safeguard), sehingga tidak mengizinkan retaliasi. Seluruh proses ini diperumit oleh fakta bahwa Badan Banding WTO (Appellate Body), mekanisme banding terakhir dalam sistem penyelesaian sengketa WTO, saat ini tidak berfungsi karena kebuntuan dalam penunjukan anggotanya.
- Ketidakpastian Berkelanjutan: Terlepas dari perkembangan hukum dan penyesuaian kebijakan, ketegangan perdagangan antara AS dan China, serta ketidakpastian mengenai arah kebijakan perdagangan AS di masa depan (terutama setelah pemilu), tetap menjadi faktor signifikan yang membayangi pasar baja global. Ketidakpastian ini mempengaruhi keputusan investasi jangka panjang oleh perusahaan dan berkontribusi pada volatilitas pasar secara keseluruhan.
Kasus Section 232 mengilustrasikan dilema mendasar antara penggunaan kebijakan perdagangan untuk tujuan keamanan nasional atau kebijakan industri domestik, versus prioritas pada efisiensi ekonomi, biaya konsumen yang lebih rendah, dan kepatuhan terhadap aturan perdagangan multilateral. Penilaian keberhasilannya sangat bergantung pada kerangka acuan yang digunakan. Lebih jauh, kasus ini menyoroti tren “weaponisasi” kebijakan perdagangan untuk tujuan geopolitik dan secara bersamaan menunjukkan melemahnya sistem perdagangan multilateral (WTO) yang dirancang untuk mengaturnya, terutama dengan lumpuhnya mekanisme penyelesaian sengketa tingkat banding. Hal ini menciptakan lingkungan perdagangan global yang lebih tidak pasti dan terfragmentasi.
Dampak Krisis Rantai Pasok dan Energi
Krisis rantai pasok dan krisis energi seringkali saling terkait erat dan dapat memperkuat dampak negatif satu sama lain, menciptakan tekanan ganda pada industri baja:
- Interaksi Negatif: Kenaikan harga energi secara langsung membuat biaya transportasi (pengiriman laut, angkutan darat) menjadi lebih mahal, karena bahan bakar merupakan komponen biaya logistik yang signifikan. Hal ini memperburuk krisis rantai pasok yang mungkin sudah ada karena faktor lain (seperti kemacetan pelabuhan pasca-pandemi). Sebaliknya, kemacetan logistik dan gangguan rantai pasok dapat menghambat pengiriman bahan bakar (batu bara, gas alam) atau bahan baku energi ke pembangkit listrik atau pengguna industri, yang pada gilirannya dapat memperparah krisis energi atau menyebabkan kekurangan pasokan energi lokal.
- Dampak Ganda pada Industri Baja: Bagi industri baja yang sangat padat energi dan bergantung pada logistik global yang efisien, kedua krisis ini memberikan pukulan ganda. Pertama, biaya produksi internal meningkat tajam karena harga energi (gas alam, listrik, batu bara kokas) yang lebih tinggi. Kedua, biaya untuk mengirimkan produk baja jadi ke pelanggan (biaya logistik dan pengiriman) juga meningkat secara signifikan. Tekanan biaya dari dua sisi ini (produksi dan distribusi) memberikan dorongan kuat pada harga baja akhir yang ditawarkan kepada konsumen. Pengalaman pasca-pandemi, yang ditandai dengan kekacauan logistik global dan diikuti oleh guncangan harga energi akibat konflik Ukraina, secara jelas mengilustrasikan dampak gabungan yang merugikan ini.
Gangguan pada energi dan logistik, sebagai input dan layanan fundamental yang melintasi seluruh perekonomian, cenderung mentransmisikan kenaikan biaya dengan cepat dan luas melalui rantai nilai. Karena energi adalah biaya langsung yang signifikan bagi produsen baja dan logistik sangat penting untuk pergerakan material, kenaikan tajam pada biaya-biaya fundamental ini seringkali memaksa produsen untuk mencoba meneruskannya dengan cepat guna mempertahankan margin, yang mengarah pada kenaikan harga yang lebih cepat dan lebih luas di seluruh industri baja dan sektor-sektor terkait.
Tren Pasar Baja Terkini dan Proyeksi Harga Baja 2025
Memasuki tahun 2025, pasar baja global terus menunjukkan dinamika yang kompleks, mencerminkan warisan dari serangkaian krisis yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir serta menghadapi tantangan-tantangan baru.
Tren Pasar Saat Ini (Data Awal 2025)
Lingkungan pasar baja pada awal tahun 2025 ditandai oleh beberapa tren kunci berdasarkan data dan analisis terbaru (akhir 2024/awal 2025):
- Volatilitas Berkelanjutan: Pasar masih menunjukkan tingkat volatilitas yang tinggi. Meskipun beberapa guncangan terburuk dari era pandemi (seperti puncak gangguan logistik) mungkin telah mereda, ketidakpastian tetap dominan. Faktor-faktor pendorong volatilitas termasuk inflasi yang terbukti lebih persisten dari perkiraan di banyak negara, arah kebijakan suku bunga bank sentral global (Federal Reserve AS melakukan pemotongan suku bunga pada akhir 2024 tetapi mengisyaratkan laju pemotongan yang lebih lambat untuk 2025), ketidakpastian geopolitik yang berkelanjutan (termasuk dinamika AS-China dan konflik regional lainnya), fluktuasi harga energi yang sulit diprediksi, serta dampak dari kebijakan perdagangan baru atau yang diperbarui (seperti tarif AS yang baru-baru ini diperkuat) yang menekan sentimen pasar.
- Permintaan yang Terdiferensiasi secara Regional: Gambaran permintaan baja sangat bervariasi antar wilayah dan sektor. Tahun 2024 terbukti menjadi tahun yang sulit bagi permintaan baja global, dengan Worldsteel merevisi perkiraannya ke bawah menjadi penurunan 0,9%. Penurunan ini terutama disebabkan oleh kelemahan di China (akibat masalah sektor properti yang berlanjut) dan penurunan signifikan di sebagian besar negara maju utama seperti AS, Jepang, Korea, dan Jerman. Pasar Uni Eropa juga menghadapi pelemahan manufaktur dan konstruksi. Sebaliknya, India terus menunjukkan momentum yang kuat, dengan pertumbuhan permintaan baja yang solid didorong oleh investasi infrastruktur. Beberapa negara berkembang lainnya juga diharapkan menunjukkan pemulihan permintaan setelah perlambatan di tahun-tahun sebelumnya. Sektor manufaktur global secara keseluruhan menghadapi tantangan pada tahun 2024, meskipun ada harapan pemulihan pada tahun 2025. Sektor konstruksi di negara maju seperti UE dan AS diperkirakan baru akan mulai pulih secara berarti mulai tahun 2025 seiring dengan potensi pelonggaran kondisi pembiayaan. Sektor otomotif global mengalami perlambatan signifikan pada tahun 2024 setelah pertumbuhan kuat pada tahun 2023, dengan pertumbuhan moderat diharapkan pada tahun 2025.
- Dinamika Produksi Global: Data produksi baja mentah global dari Worldsteel menunjukkan fluktuasi bulanan pada akhir 2024 dan awal 2025. Misalnya, terjadi kenaikan tahunan pada Oktober dan Desember 2024, tetapi penurunan pada September 2024 serta Januari dan Februari 2025. Peramal pasar seperti Fastmarkets secara signifikan menurunkan perkiraan produksi global untuk tahun 2025 antara Desember 2024 dan Maret 2025, mengutip pelemahan fundamental pasar dan ketidakpastian kebijakan perdagangan sebagai alasan utama. Penurunan ekspektasi ini kontras dengan optimisme sebelumnya pada awal tahun. Produksi China, khususnya, diperkirakan akan turun di bawah 1 miliar ton per tahun.
- Fokus pada Dekarbonisasi: Industri baja global menghadapi tekanan yang terus meningkat untuk mengurangi jejak karbonnya. Investasi dalam teknologi produksi baja yang lebih ramah lingkungan (seperti penggunaan hidrogen atau penangkapan karbon) mulai meningkat, didorong oleh regulasi dan permintaan pasar. Namun, transisi ini juga dapat menambah biaya produksi dalam jangka pendek hingga menengah, yang berpotensi mempengaruhi harga.
- Peran Sentral China: Sebagai produsen dan konsumen baja terbesar di dunia, kebijakan ekonomi dan industri China tetap menjadi faktor penentu utama bagi pasar baja global. Perkembangan di sektor properti China, tingkat stimulus ekonomi yang diterapkan pemerintah, target lingkungan, dan keputusan mengenai kontrol produksi baja akan terus memiliki dampak signifikan terhadap keseimbangan penawaran-permintaan dan harga global.
Secara keseluruhan, pasar baja memasuki tahun 2025 dalam kondisi yang rapuh dan penuh ketidakpastian. Terjadi divergensi kinerja yang signifikan antar wilayah, dengan India menjadi titik terang pertumbuhan sementara China dan negara maju menghadapi tantangan. Kebijakan pemerintah, baik moneter, fiskal, maupun perdagangan, memainkan peran yang semakin penting dan seringkali menambah ketidakpastian, seperti yang terlihat dari penundaan laporan prospek oleh Worldsteel akibat tarif AS dan revisi turun perkiraan produksi oleh Fastmarkets. Kabut kebijakan ini tampaknya menahan sentimen pasar dan berpotensi menghambat pemulihan, bahkan jika beberapa fundamental ekonomi menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Proyeksi Harga Baja 2025 (Termasuk Tabel Ringkasan Prakiraan Permintaan)
Memproyeksikan harga baja untuk tahun 2025 secara akurat merupakan tantangan besar mengingat banyaknya variabel yang saling mempengaruhi dan tingkat ketidakpastian yang tinggi saat ini. Namun, berdasarkan analisis tren dan perkiraan dari lembaga-lembaga terkemuka, beberapa skenario dan faktor kunci dapat diidentifikasi:
- Prakiraan Permintaan Global dan Regional: World Steel Association (worldsteel), dalam Short Range Outlook (SRO) Oktober 2024, memproyeksikan adanya rebound atau pemulihan permintaan baja global sebesar 1,2% pada tahun 2025, mencapai 1.772 juta ton (Mt). Pemulihan ini diharapkan terjadi setelah tiga tahun penurunan atau stagnasi, termasuk perkiraan penurunan 0,9% pada tahun 2024 menjadi 1.751 Mt. Penting dicatat bahwa proyeksi 2025 ini merupakan revisi turun dari perkiraan sebelumnya pada April 2024. Pemulihan pada tahun 2025 diperkirakan akan bersifat luas (broad-based) di dunia, kecuali di China. Lembaga analisis lain seperti CRU juga memperkirakan rebound permintaan global pada 2025 (sekitar 1,1%), meskipun permintaan China diperkirakan terus turun.
- Faktor Kunci Penggerak Harga di 2025:
- Keseimbangan Ekonomi Global: Arah ekonomi global akan menjadi penentu utama. Pemulihan yang solid akan mendukung permintaan dan harga baja. Namun, jika inflasi tetap tinggi dan bank sentral terus mempertahankan kebijakan moneter yang ketat (meskipun ada beberapa pelonggaran), hal ini dapat meredam pemulihan ekonomi dan menekan harga. Pelonggaran kondisi pembiayaan yang diharapkan mulai terasa pada tahun 2025 dapat mendukung pemulihan investasi dan konsumsi swasta.
- Stabilitas Geopolitik: Eskalasi konflik yang sedang berlangsung atau munculnya ketegangan geopolitik baru (termasuk friksi perdagangan yang berkelanjutan) dapat memicu lonjakan baru pada harga energi, mengganggu rantai pasok lebih lanjut, dan mendorong harga baja naik karena peningkatan biaya dan ketidakpastian pasokan. Sebaliknya, de-eskalasi dapat membawa stabilitas harga yang lebih besar.
- Harga Energi dan Bahan Baku: Arah pergerakan harga komoditas input kunci seperti batu bara metalurgi, bijih besi, dan energi (gas alam, listrik) akan sangat mempengaruhi biaya produksi baja dan, akibatnya, tingkat harga baja di pasar pada tahun 2025. Proyeksi Bank Dunia tentang penurunan harga komoditas secara umum pada tahun 2025 perlu dicermati, namun dinamika spesifik untuk input baja bisa berbeda. Harga nikel, penting untuk baja tahan karat (stainless steel), diperkirakan akan berada dalam kisaran $15.000-$20.000 per ton.
- Kebijakan Lingkungan (Hijau): Implementasi kebijakan dekarbonisasi yang lebih agresif di berbagai negara dapat meningkatkan biaya produksi baja yang dibuat dengan metode konvensional (misalnya, melalui pajak karbon) atau mendorong permintaan untuk jenis baja spesifik yang digunakan dalam teknologi energi terbarukan (turbin angin, panel surya).
- Kapasitas Produksi dan Keputusan Produsen: Keputusan produsen baja global mengenai tingkat utilisasi kapasitas, penutupan pabrik yang tidak efisien, dan investasi dalam kapasitas baru akan secara langsung mempengaruhi keseimbangan penawaran-permintaan di pasar. Kebijakan kontrol produksi di China tetap menjadi variabel kunci.
- Ekspektasi Harga Secara Umum: Secara umum, mayoritas analis memperkirakan bahwa volatilitas akan tetap menjadi ciri utama pasar baja menuju tahun 2025. Harga kemungkinan tidak akan kembali ke level terendah sebelum pandemi dalam waktu dekat, mengingat potensi biaya struktural yang lebih tinggi (energi, logistik, dekarbonisasi). Di sisi lain, harga juga mungkin tidak akan mencapai kembali puncak ekstrem yang terlihat pada tahun 2021, kecuali jika terjadi krisis global besar yang baru. Analis menunjukkan optimisme yang hati-hati (cautious optimism) untuk pemulihan moderat pada tahun 2025. Pelaku pasar perlu bersiap untuk menghadapi fluktuasi dan mengelola risiko secara proaktif.
Pemulihan yang diproyeksikan untuk tahun 2025 tampak rapuh. Pertumbuhan permintaan global sebesar 1,2% yang diharapkan oleh Worldsteel terjadi setelah periode penurunan atau stagnasi yang berkepanjangan. Hal ini menunjukkan bahwa pasar masih rentan terhadap berbagai risiko penurunan yang telah diidentifikasi. Selain itu, peran China dalam pasar global sedang bergeser. Dari sebelumnya menjadi mesin utama pertumbuhan permintaan global, kini China berpotensi menjadi faktor penahan pertumbuhan (dengan proyeksi permintaan negatif) atau, paling baik, sumber stabilitas jika stimulus pemerintah yang signifikan diterapkan. Akibatnya, pertumbuhan permintaan baja global pada tahun 2025 dan seterusnya akan lebih bergantung pada kinerja ekonomi di luar China, terutama di negara berkembang seperti India. Ini menandai pergeseran struktural penting dalam dinamika pasar baja global.
Strategi Menghadapi Volatilitas Harga Baja
Bagi bisnis yang operasionalnya sangat bergantung pada pasokan baja, menghadapi lingkungan pasar yang volatil seperti saat ini memerlukan penerapan strategi manajemen risiko yang proaktif dan adaptif. Berikut adalah beberapa strategi kunci yang dapat dipertimbangkan:
- Pemantauan Pasar Aktif dan Intelijen: Mengikuti perkembangan pasar secara terus-menerus adalah fundamental. Ini melibatkan pemantauan berita ekonomi global, perkembangan geopolitik terkini, laporan pasar komoditas dari sumber terpercaya, analisis tren harga energi dan bahan baku, serta perubahan kebijakan perdagangan atau regulasi lingkungan. Memanfaatkan beragam sumber informasi membantu mengantisipasi potensi perubahan harga dan pasokan.
- Manajemen Inventaris yang Cermat dan Fleksibel: Menemukan keseimbangan yang tepat dalam tingkat persediaan sangat krusial. Menyimpan stok terlalu banyak akan mengikat modal kerja yang berharga dan meningkatkan risiko kerugian jika harga pasar turun. Sebaliknya, menyimpan stok terlalu sedikit meningkatkan risiko kehabisan bahan saat dibutuhkan (yang dapat menghentikan produksi) atau terpaksa membeli dengan harga tinggi saat pasar sedang melonjak. Strategi inventaris perlu mempertimbangkan volatilitas waktu tunggu (lead time) dari pemasok dan biaya modal. Pengalaman pandemi menyoroti risiko kebijakan inventaris nol (zero-inventory) dalam menghadapi gangguan besar, mendorong pergeseran ke arah yang lebih mengutamakan ketahanan (resilience).
- Membangun Hubungan Pemasok yang Kuat dan Strategis: Di masa krisis dan ketidakpastian, hubungan jangka panjang yang solid dengan pemasok yang andal menjadi sangat penting. Pemasok yang baik tidak hanya menyediakan material tetapi juga dapat menjadi sumber informasi pasar yang berharga, memberikan prioritas pasokan selama periode kelangkaan, dan mungkin menawarkan fleksibilitas dalam negosiasi harga atau persyaratan pembayaran. Kemitraan strategis dapat menjadi keunggulan kompetitif.
- Kontrak Jangka Panjang dan Instrumen Hedging: Untuk sebagian dari kebutuhan baja, menjajaki opsi kontrak jangka panjang dapat membantu mengurangi eksposur terhadap fluktuasi harga pasar jangka pendek. Ini bisa berupa kontrak dengan harga tetap (fixed price) atau kontrak dengan formula harga yang disepakati yang terkait dengan indeks pasar tertentu. Bagi perusahaan yang lebih besar atau memiliki eksposur signifikan, penggunaan instrumen hedging keuangan (seperti kontrak berjangka/futures atau opsi di bursa komoditas, jika tersedia dan relevan untuk jenis baja yang dibutuhkan) dapat dipertimbangkan untuk mengunci harga di masa depan.
- Diversifikasi Basis Pemasok: Mengandalkan hanya pada satu sumber pasokan, terutama jika sumber tersebut berlokasi di wilayah yang rentan secara geopolitik, logistik, atau bencana alam, merupakan risiko yang signifikan. Melakukan diversifikasi pemasok, termasuk mencari sumber dari geografi yang berbeda, dapat meningkatkan ketahanan rantai pasok terhadap gangguan regional.
- Fleksibilitas dalam Desain Produk dan Material: Jika memungkinkan dalam aplikasi teknis tertentu, perusahaan dapat mempertimbangkan untuk merekayasa ulang desain produk agar lebih efisien dalam penggunaan baja (mengurangi jumlah baja yang dibutuhkan per unit produk). Dalam beberapa kasus, menjajaki penggunaan material alternatif mungkin juga menjadi pilihan strategis jangka panjang, meskipun seringkali memerlukan investasi dalam R&D dan penyesuaian proses produksi.
- Manajemen Risiko Keuangan: Volatilitas harga baja dapat berdampak signifikan pada arus kas. Strategi keuangan yang relevan termasuk mengelola eksposur mata uang asing jika melakukan impor baja, memastikan ketersediaan jalur kredit (credit lines) yang memadai untuk mengatasi potensi lonjakan biaya mendadak, dan melakukan perencanaan kas yang cermat.
- Keterlibatan dalam Industri dan Advokasi: Berpartisipasi aktif dalam asosiasi industri dapat memberikan akses ke informasi pasar kolektif, praktik terbaik (best practices), dan platform untuk menyuarakan keprihatinan mengenai kebijakan pemerintah yang mempengaruhi industri (misalnya, kebijakan perdagangan atau regulasi).
Serangkaian krisis global dalam beberapa tahun terakhir, terutama pandemi COVID-19 dan konflik Ukraina, telah mendorong pergeseran penekanan dalam manajemen rantai pasok. Jika sebelumnya fokus utama adalah pada efisiensi biaya melalui strategi seperti lean manufacturing, Just-in-Time (JIT), dan sumber global, kini penekanan semakin bergeser ke arah ketahanan (resilience), redundansi (melalui diversifikasi dan stok pengaman), dan potensi regionalisasi rantai pasok. Strategi-strategi di atas mencerminkan pergeseran ini, mengakui bahwa meskipun biaya tetap penting, kerapuhan rantai pasok dapat menimbulkan biaya yang jauh lebih tinggi saat terjadi gangguan besar.
Pentingnya Pemasok Andal di Tengah Ketidakpastian Pasar
Dalam iklim pasar baja yang penuh ketidakpastian dan volatilitas akibat berbagai krisis global yang telah dibahas, memiliki mitra pemasok baja yang dapat diandalkan bukan lagi sekadar pilihan operasional, tetapi telah menjadi aset strategis yang tak ternilai. Ketidakpastian pasokan, fluktuasi harga yang tajam, dan gangguan logistik dapat secara signifikan menghambat kelancaran proyek dan profitabilitas bisnis. Pemasok yang kredibel dan memiliki reputasi baik tidak hanya berfungsi untuk memastikan ketersediaan material sesuai jadwal, tetapi juga dapat memberikan tingkat transparansi harga yang lebih baik, informasi pasar yang relevan, dan dukungan teknis yang dibutuhkan.
Saat Anda membutuhkan kepastian pasokan untuk beragam kebutuhan proyek konstruksi atau manufaktur, menemukan sumber terpercaya untuk semua produk produk besi yang dijual di sms perkasa menjadi kunci penting bagi kelancaran operasional. Pemasok yang andal seperti SMS Perkasa, yang menawarkan portofolio produk yang luas – mulai dari besi beton berkualitas SNI yang esensial untuk struktur bangunan, berbagai jenis baja profil struktural seperti besi WF (Wide Flange), besi H-Beam, Besi Siku, dan Hollow untuk kerangka kerja, pipa galvanis dan pipa stainless steel untuk berbagai aplikasi fluida dan struktural, hingga plat besi hitam, plat stainless steel, dan baja ringan untuk atap atau dinding dapat secara signifikan mengurangi kompleksitas pengadaan dan risiko pasokan.

Kemitraan yang kuat dengan pemasok yang memiliki stok beragam dan kemampuan logistik yang baik dapat membantu perusahaan menavigasi kompleksitas pasar saat ini. Mereka dapat memberikan informasi terkini mengenai ketersediaan stok, potensi perubahan harga, dan memastikan bahwa kualitas produk yang diterima sesuai dengan standar yang disyaratkan. Dengan mengandalkan pemasok yang tepat, perusahaan dapat lebih fokus dalam mengelola aspek-aspek inti lain dari bisnis mereka, dengan keyakinan bahwa kebutuhan material baja mereka berada di tangan yang kompeten dan mampu memenuhi berbagai spesifikasi besi baja yang dibutuhkan. Dalam pasar yang bergejolak, nilai hubungan dengan pemasok yang andal meningkat secara signifikan, bertransformasi dari sekadar transaksi menjadi kemitraan strategis untuk mitigasi risiko dan memastikan keberlanjutan bisnis.
Harga baja global mencerminkan dinamika kompleks ekonomi dunia yang dipengaruhi oleh beragam krisis seperti resesi, pandemi, konflik geopolitik, perang dagang, gangguan rantai pasok, dan fluktuasi harga energi. Studi kasus seperti COVID-19 dan konflik Rusia-Ukraina menunjukkan bagaimana krisis dapat memicu guncangan baik di sisi permintaan maupun penawaran, sementara kebijakan seperti tarif Section 232 mempertegas ketidakpastian pasar global. Memasuki 2025, meskipun ada proyeksi pemulihan permintaan baja secara moderat, kondisi pasar tetap penuh volatilitas dan ketidakpastian yang menuntut pelaku industri untuk menerapkan strategi manajemen risiko yang cermat, termasuk diversifikasi pasokan dan kerja sama dengan pemasok terpercaya seperti SMS Perkasa, guna menjaga keberlanjutan bisnis di tengah tantangan pasar baja global.