Silmy Karim Getol Menekan Kerugian Krakatau Steel

Kerugian Krakatau Steel

Himpitan industri baja nasional oleh produk-produk baja impor Cina yang membanjiri pasar Indonesia selama bertahun-tahun adalah pembahasan yang masih giat dibicarakan. Terbukanya informasi atas kerugian tahunan yang dialami oleh Krakatau Steel pun menjadi perbincangan yang tak kalah menarik. Bagaimana tidak? Perusahaan BUMN ini dinyatakan tidak mencetak keuntungan selama 7 tahun berturut-turut dari tahun 2012.

Kerugian Krakatau Steel

Krakatau Steel tercatat mengalami kerugian sebesar US$19,56 juta pada 2012, sebesar US$13,6 juta pada 2013, sebesar US$154,18 juta pada 2014, sebesar US$326,51 juta pada 2015, sebesar US$180,72 juta pada 2016, sebesar US$86,09 juta pada 2017, dan sebesar US$77,16 juta pada 2018. Belum lagi jika dihitung berdasarkan sisi konsolidasi Krakatau Steel Grup maupun secara induk. Kerugiannya bahkan tercatat lebih besar.

Kerugian Krakatau Steel ini sebenarnya bukan hanya perkara membanjirnya baja impor Cina. Banyak faktor-faktor lain yang turut berkontribusi pada tingginya nilai kerugian Krakatau Steel selama 7 tahun ini, diantaranya adalah pembiayan-pembiayaan seperti beban penjualan, beban administrasi, dan beban bunga yang membengkak. Salah satu contohnya adalah tingginya beban keuangan di tahun 2018 yang mencapai US$112,33 juta. Sebagai perbandingan, padahal beban keuangan Krakatau Steel di tahun 2011 hanya sekitar US$40,62 juta.

Meski Merugi, Krakatau Steel Tetap Optimis

Namun, meski kerugian yang dialami Krakatau Steel cukup lama, pendapatan perusahaan ini sebenarnya mengalami kenaikan sejak tahun 2016. Di tahun 2018 contohnya, pendapatan Krakatau Steel melonjak naik sebesar 20,05% year-on-year dari US$1,45 miliar menjadi US$1,739,45 miliar. Angka ini bisa dibilang luar biasa, mengingat di tahun 2016 dan 2017 kenaikannya masing-masing hanya sebesar 1,73% dan 7,76% year-on-year. Volume penjualan juga mengalami peningkatan menjadi 2,14 juta ton baja yang berhasil dijual pada tahun 2018. Naik sebesar 12,84% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 1,9 juta ton.

Pertumbuhan keuntungan ini diduga karena kondisi pasar baja dunia sedang membaik dengan diiringi harga baja yang mengalami kenaikan pula. Rata-rata harga jual hot rolled coil contohnya, mengalami peningkatan sebanyak 10,03% menjadi US$657/ton. Produk cold rolled coil juga meningkat sebanyak 6,72% menajdi US$717/ton. Sedangkan wirerod meroket dengan kenaikan 15,03% menjadi US$635/ton. Meski tahun ini terdapat peningkatan kerugian, semoga lesunya ekonomi di tahun 2019 ini tak lantas menyeret Krakatau Steel dalam kerugian yang terlalu besar.

Upaya-upaya Krakatau Steel untuk Menekan Kerugian

Di bawah otoritas Silmy Karim, Krakatau Steel terus berusaha melakukan perbaikan baik dari segi bisnis maupun internal perusahaan. Apa saja kira-kira yang sudah dilaksanakan oleh Krakatau Steel untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya?

Restrukturasi Organisasi di Krakatau Steel

Krakatau Steel terus melakukan upaya perbaikan kinerja perseoran seperti menyelesaikan proyek-proyek strategis, transformasi sales dan marketing, optimalisasi aset, perampingan organisasi, maupun program efisiensi biaya dan restrukturisasi keuangan. Dalam restrukturisasi organisasi, Krakatau Steel menargetkan akan memangkas 30% unit kerja karena unit kerja saat ini dirasa terlalu besar dan membebani biaya operasional perusahaan. Meski akan ada pengurangan jumlah karyawan, Silmy Karim menjamin tidak akan ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada karyawan tetap, namun hanya pengalihan kepada entitas usaha. Harapannya, program ini bisa memberikan kontribusi efisiensi biaya operasional sebesar 20-30% sehingga kerugian Krakatau Steel bisa diminimalisir.

Pabrik Blast Furnace Siap Beroperasi

Pada 20 Desember 2018 kemarin, Krakatau Steel telah melakukan penyalaan perdana dan siap mengoperasikan pabrik blast furnace (tanur tiup) yang berlokasi di Ciilegon, Banten. Menurut Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim, hal ini merupakan suatu awal dari usaha Krakatau Steel untuk meningkatkan daya saing mereka di sektor hulu dengan memanfaatkan teknologi berbasis batu bara. Dalam enam bulan terakhir, pekerjaan teknis maupun non-teknis telah diselesaikan dengan baik dan tahap persiapan uji coba sedang dilakukan.

Dalam perancangan dan pengerjaan pabrik blast furnace ini, Karakatau Steel menggandeng MCC CERI dari Cina sebagai pelaksana. Proyek ini terdiri dari 1832 meter kubik blast furnace, sebuah 64 lubang 6 meteran coke oven, dan 180 meter persegi mesin sintering. Pabrik ini didapuk dapat menghasilkan 1,2 juta ton hot metal tiap tahunnya. Krakatau Steel sendiri telah menargetkan blast furnace akan mencapai kapasitas penuhnya di kuartal pertama tahun depan. Silmy Karim percaya diri bahwa blast furnace akan mampu mengurangi biaya produksi dan menyeimbangkan kapasitas produksi dalam pembuatan baja hulu. Menurutnya, penggunaan batu bara dapat meningkatkan fleksibilitas penggunaan energi serta mengurangi ketergantungan terhadap gas alam yang terus mengalami kenaikan harga dan keterbatasan jumlah. Pembangunan blast furnace ini juga diharapkan dapat menyeimbangkan kapasitas hulu dan hilir dalam industri baja, sehingga ketergantungan akan slab impor dapat dikurangi.

Realisasi Proyek Klaster 10 Juta Ton

Selain pabrik blast furnace, Krakatau Steel juga sedang mempersiapkan pabrik Hot Strip Mill kedua yang juga berlokasi di Cilegon, Banten. Investasi sebesar US$515 juta ini diharapkan sudah dapat beroperasi di akhir tahun ini. Hot Strip Mill ditargetkan mampu mengangkat kapasitas hot rolled coil menjadi sekitar 3,9 juta ton per tahunnya. Tahun 2018 lalu, jumlah hot rolled coil yang dihasilkan mencapai 1,24 juta ton, naik 23% dari tahun sebelumnya. Berita bagus, bukan? Tak hanya itu, untuk mencapai pembangunan klaster baja 10 juta ton, ke depannya akan dilaksanakan pengembangan Krakatau Posco dan pembangunan rolling mill seperti pabrik cold rolling mill kedua dan ketiga, serta penambahan kapasitas HSM kedua. Silmy Karim menargetkan, proyek klaster 10 juta ton ini akan bisa direalisasi di tahun 2023.

Menggandeng BUMN: Peningkatan Permintaan Baja Dalam Negeri

Di akhir taun lalu, Krakatau Steel juga berhasil menandatangani kesepakatan dengan beberapa BUMN mengenai penggunaan baja nasional untuk proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu proyek yang dijalankan atas kesepakatan ini adalah pembangunan jalan tol layang Jakarta-Cikampek sepanjang 37 kilometer yang dikenal dengan nama Japek II Elevated Toll Road. Dalam proyek pembangunan tersebut, Krakatau Steel berhasil menyuplai baja sebesar 151.090 ton per Desember 2018.

Meningkatnya Ekspor Hot Rolled Coil

Berita baik lainnya berasal dari negara tetangga, Malaysia, yang resmi mencabut bea masuk anti-dumping terhadap produk hot rolled coil milik Krakatau Steel pada 9 Februari 2019 lalu. Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia menilai bahwa pengenaan bea masuk anti-dumping tidak lagi relevan karena produsen dalam negeri mereka tidak mampu menyuplai kebutuhan HRC yang mencapai 9,4 juta ton setiap tahunnya. Hal ini tentu memberikan kesempatan bagi Krakatau Steel untukk meningkatkan ekspor ke Malaysia, bahkan hingga dua kali lipat di tahun ini. Silmy Karim memandang hal ini sebagai sentimen positif dan menargetkan ekspor baja ke Malaysia bisa mencapai 500 ribu ton. Nilai ekspor total yang ditargetkan pun diperkirakan bisa mencapai sekitar US$200 juta atau kurang lebih 10% dari total penjualan.

Selain negara Malaysia, Australia juga menerapkan hal yang sama dengan tidak memperpanjang peraturan anti-dumping sejak Desember 2018 lalu. Krakatau Steel optimis dapat memasok produk baja mereka ke Australia hingga 20 juta ton per tahunnya. Dengan begitu, diharapkan di tahun 2019 ini penjualan dan produksi baja dapat ditingkatkan sebesar 20-30% dibanding tahun lalu.

Menekan Impor dengan Permendag dan Permenkeu

Upaya lainnya adalah perpanjangan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) yang disahkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 25/PMK.010/2019 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Produk Canai Lantaian Dari Besi atau Baja Bukan Paduan Dari Negara Republik Rakyat Tiongkok, India, Rusia, Kazakhstan, Belarusia, Taiwan, Dan Thailand. Peraturan ini mulai diberlakukan pada 2 April 2019 hingga 5 tahun ke depan.

Terakhir, pemberlakuan kembali Peraturan Menteri Perdagangan No. 110 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya menggantikan Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2018 menjadi angin segar bagi industri baja nasional. Pengawasan terhadap baja impor yang masuk ke perbatasan nasional bisa diperketat di bawah Ditjen Bea dan Cukai, sehingga praktik kecurangan importir yang tidak membayar bea masuk bisa lebih diminimalisir. Kerugian negara pun bisa dicegah lebih baik.

Semangat, Krakatau Steel!

Bagikan sekarang